JINGGA DI KALA SENJA
karya: Shabiet As-Shehan
Raffi tertegun mengamati seseorang yang kini berada di sampingnya.
Ia tengah menatap langit cerah kebiruan, yang entah baginya tampak indah atau sebaliknya. Tapi Raffi memastikan bahwa Faris, lelaki di sampingnya itu, tidak bisa memandang indahnya lanskap langit biru yang terbentang luas di angkasa. Hanya kegelapan.
Ya, hitam di matanya.
“Terkadang aku merasa heran,.” Ujar Raffi berhati-hati.
“Bagaimana mungkin kau bisa bertahan menjalani hidup ini dengan kegelapan yang kau alami?” Tanya Raffi selanjutnya lalu Faris menarik kedua otot pipinya naik dua centimeter untuk tersenyum. Tulus dan tanpa beban. Matanya tetap menjurus kedepan masih menatap jauh nun disana langit terbentang.
“Boleh aku tersenyum?” Faris berbasa-basi mencairkan suasana.
Raffi menganggukan kepalanya tanpa sepengetahuan Faris.
“Satu hal yang harus kau ketahui, “ kata Faris lalu berhenti sejenak menghela nafas panjang hendak melanjutkan ucapannya kembali.
“Jika kita menghadapi segala sesuatu dengan jiwa lapang, yakinlah bahwa kita akan memperoleh banyak kegembiraan yang semakin harinya akan semakin bertambah. Karena kita termasuk orang-orang yang pandai bersyukur menikmati hidup.” Faris diam beberapa detik. “ Kita harus menyadari bahwa bila kita menjalani segala sesuatu yang terasa sempit, sebenarnya .. jiwa kita lah yang sempit, bukan yang tengah kita jalani.”
Seketika itu Raffi merinding mendengarkan ucapan Faris. Ia terlontar dalam untaian kata yang sarat makna. Fikirannya terbang terseret memasuki pusaran makna yang mendalam di hatinya. Faris tersenyum kecil. Senyum itu masih seperti dulu, seperti petama kali bertemu.
* * *
Raffi mencermati sosok Faris dari tirai jendela. Hatinya berduka, tapi ia tersenyum ramah menyantuni orang-orang yang berkunjung kerumahnya, berbela sungkawa atas musibah yang menimpa keluarganya. Ayah dan kakaknya telah meninggal dunia, setelah mengalami kecelakaan lalu lintas waktu itu. Kini hanya tersisa ibu dan dirinya yang mengalami kebutaan semasa ia lahir di dunia.
Raffi merasa iba melihatnya yang sedang duduk tepekur di depan rumah seraya tersenyum menyalami siapa saja yang datang kerumah. Faris tidak bisa melihat bahwa di hadapannya telah bertandang tenda, kursi-kursi plastik, dan bendera, tanda keluarga yang berduka cita. Anehnya, Faris bersikap tenang dan tegar menghadapi duka kehilangan dua anggota keluarganya sekaligus. Ia tetap tersenyum, meski di kedalaman hatinya Raffi menerka bahwa hatinya sedang berduka, merintih menangis perih.
Belum pernah Raffi melihatnya menangis, seperti kebanyakan anak-anak seusianya yang berusia 14 tahun, ketika di tinggal pergi keluarganya yang meninggal dunia. Faris tidak menangis! Tidak sedikitpun air matanya jatuh. Bukan berarti ia telah mati rasa ataupun hatinya telah membatu menerima segala derita hidup, melainkan Faris telah terbiasa menerima jalan hidupnya dengan lapang dada.
Lihatlah, di sekililing rumah itu terdengar jelas tangis ratapan yang begitu menyayat hati bagi orang-orang yang berdatangan. Lihatlah, anak sekecil itu yang duduk mantap menyambut hangat tiap orang yang mendatangi rumahnya dengan senyum indahnya, senyum duka yang mendalam.
“Kok, tidak menangis saat keluarga mu ada yang meninggal? Bertanyalah Raffi dengan polos keesokan harinya.
Faris tersenyum.
“Kenapa?”desak Raffi ingin tau. “Sudah terlalu banyak tumpahan air mata dirumah ini. Aku sudah berjanji dalam diri untuk tetap bersabar dan tersenyum. Lagi pula akan lebih menyedihkan jika aku ikut menangis.” Ujarnya tenang.
“Jika kepergian mereka tidak bisa membuatmu menangis, lalu.. apa yang membuatmu bisa menangis?” Tanya Raffi lagi masih dengan perasaan heran sekaligus penasaran.
Faris menarik nafasnya dalam, lalu ia hembuskan pelan-pelan. “Aku akan menangis, jika aku tidak bisa memberikan sesuatu yang berarti semasa hidupku…” jawabnya lalu tersenyum.
* * *
Sejak itulah Raffi mulai tertarik pada kehidupan Faris. Mereka tumbuh menjadi besar secara bersama. Bermain, belajar, dan menatap senja ketika matahari terbenam. Setiap harinya, di penghujung sore, mereka akan duduk lama di gundukkan bukit yang cukup tinggi, sekedar untuk memandang mentari terbenam dan melihat warna jingga yang indah. Raffi akan membawa Faris dengan hati-hati ketika mendaki bukit yang tidak begitu curam atau pun membahayakan. Faris bisa merasakan indah dan mempesonanya matahari saat terbenam.
“Oh ya, bagaimana perkembanganmu mengenali huruf-huruf timbul itu?” Tanya Raffi sembari menunggu senja mentari terbenam.
“Aku sudah belajar mengenali huruf-huruf misteri itu..” jawab Faris seraya melipat kedua tangannya, gaya sombongnya saat bergurau.
“Hahaha… kau hebat! Sebenarnya aku telah yakin, bahwa kau pasti akan menaklukkan huruf-huruf misteri itu.” Raffi menepuk-nepuk bahunya pelan.
Faris benar-benar sukses mengenali huruf-huruf timbul (Braile) itu. Dalam kurun waktu satu bulan, ia telah terampil membaca berdasarkan insting setelah mengenali huruf timbul terlebih dahulu.
“Sampai saat ini, aku bercita-cita ingin sekali melihat jingga, warna indah saat matahari terbenam. Seperti yang sering kau lihat, yang kau ceritakan tiap detail warna jingga secara ilmu pengetahuan kepadaku.” Tutur Faris tatkala Raffi meneriakkan dengan lantang warna jingga.
Raffi terdiam dan lunglai.
“Sekali saja dalam hidup, aku ingin sekali melihat jingga…” Suara Faris lirih, menyiratkan rindu terdalam yang tak mampu lagi terbendungkan.
“Bukan hanya sekali kau akan melihat jingga, tapi setiap hari, setiap sore, dan selamanya..” gumam Raffi dalam hati.
“Fi?” sapa Faris linglung seketika Raffi tak bersuara.
“Percayalah… suatu hari nanti, kau akan melihatnya…” kata Raffi lalu menyeka bulir air mata yang menggenang di kedua sudut matanya.
Faris tertawa. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya seolah ia menertawakan ucapan Raffi yang dianggapnya bahwa itu hanyalah mimpi untuk menghibur tunanetra yang berharap keajaiban untuk dapat melihat.
Raffi tertunduk lemah dengan hati yang berdoa. Sementara Faris, tertawa..tertawa… menghibur dirinya dengan gelak tawa.
* * *
“Bagaimana dengan anakku, Dok?” seorang Ibu yang bertanya kepada Dokter dengan nada yang bergetar di iringi cemas yang mendalam.
“Setelah melakukan tes laboratorium darah dan CT Scan...,” Dokter itu berhenti beberapa detik kemudian untuk menghela nafas , lalu melanjutkan kembali ucapannya. “Anak ibu ,.. menderita kanker yang bersarang di otaknya. Hasilnya menunjukkan bahwa penyakit tersebut telah mencapai stadium empat.
Dan…” dengan berat hati, Dokter itu mengatakan kepada sang Ibu . “
Sebagai manusia kita hanya mampu berusaha dan Tuhan jualah yang menentukan.“
Lalu Dokter itu tertunduk dalam, tak sampai hati melihat sang Ibu yang tercenung pilu dengan linangan air mata.
“Hanya pertolongan Allah lah yang bisa menyelamatkan nyawanya. Jika selamat tentu itu sebuah keajaiban.”
Tak di hiraukan lagi sang Ibu beranjak pergi meninggalkan ruangan Dokter itu, dan berlari membawa tangisan hingga mendekati ruangan tempat anaknya di rawat.
Raffi tengah terbaring lemah. Dengan wajah pucat kebiruan. Senyumnya terkembang, ia tahu atas apa yang akan terjadi pada dirinya nanti. Vonis telah di jatuhkan, dan menyimpulkan bahwa Raffi takkan terselamatkan. Hanya keajaiban Tuhanlah sesuatu yang mustahil terjadi akan terjadi. Kun fayakkun.
“Benar, jika jiwa yang lapang menerima tiap ujian akan membuat seseorang menjadi tegar.” Gumam Raffi seketika itu teringat akan ucapan Faris tempo dulu.
Raffi pasrah bukan berarti menyerah. Jika ini memang sudah digariskan Tuhan untuknya, ia menerima.
“Tapi, apakah aku sudah memberikan sesuatu yang berarti sebelum kepergianku dari dunia ini?” Begitu lah gemuruh jiwa Raffi.
Satu bulan kemudian.
Mentari tak lagi bersinar. Cahayanya redup tertutup gumpalan awan-gumawan yang menghitam. Tak lama lagi akan turun hujan. Begitulah orang-orang menerka keadaan alam. Mata itu perlahan telah terpejam, gelap gulita tanpa cahaya. Semua menjadi sunyi, sepi, dan sendiri.
Gerakan tiap inci jarum jam tak juga maju, dan tak pula mundur. Ia berhenti pada satu arah. Hari-hari yang panjang itu terputus sampai disini. Ia telah menutup dengan rapi lembaran-lembaran episode hidup ini. Tapi ini bukan akhir dari segalanya , melainkan ini adalah awal kehidupan yang baru bagi setiap insan di dunia.
* * *
“Sekarang bukalah matamu perlahan-lahan…” pinta Dokter setelah melepaskan perban di mata nya.
Faris merasa takjub. Ia telah melihat dunia. Sesuatu yang mustahil itu telah terjadi.
Ya, akhirnya ia bisa melihat untuk pertama kalinya menatap dunia!
Ia melihat dua orang yang berada di hadapannya dengan senyum kegembiraan menyambut dunia baru bagi Faris.
“Selamat datang, Faris….”
Dokter itu tersenyum puas, karena tugas nya telah selesai dengan hasil yang memuaskan.
Di sebelah Dokter itu, ada seorang wanita separuh baya, ikut pula menyambutnya dengan suka cita.
“Ibu…” seru Faris.
Lalu mereka berpelukan.
Rasa bahagia secepat itu menyesakkan dadanya. Faris sangat bersyukur atas kemurahan Allah yang telah menganugerahi mata untuknya.
Lalu? Tanya Faris berdengung-dengung dalam hati.
“ Siapa yang telah mendonorkan mata ini untukku?”
“Ibu, siapa orang yang telah berbaik hati mendonorkan mata ini kepadaku? Katakanlah, Bu.. Siapa orang itu?” Tanya Faris tak sabar.
“Cepat beri tahu aku, aku ingin sekali bertemu dengannya, dan memeluk nya dengan rasa ucapan beribu-ribu terima kasihku padanya, Bu…” buru Faris pula.
Lalu ibunya tak bisa berkata-kata lagi. Ia terdiam dengan air mata yang berjatuhan. Ia harus berpegang janji untuk tidak memberitahukan orang yang telah mendonorkan mata untuknya sebelum Faris benar-benar pulih. Tapi, keadaan telah berubah, tak sesuai rencana. Faris selalu saja mendesak ingin tahu pemilik mata yang berhati mulia ini segera.
“Bu,..” ujar Faris lirih . “ Tunjukkan padaku sekarang juga, siapa pemilik mata ini?” Desah Faris .
Setelah cukup lama, dengan sangat terpaksa dan berat hati, ibunya telah mengingkari janji dan memberinya sepucuk surat dari sang pemilik mata.
Faris segera meraihnya, dan tak terkejut lagi setelah di dalamnya terdapat banyak tulisan. Karena sebelumnya ia telah mengenal dan menguasai tulisan itu setelah Raffi menghadiahi sebuah Braile di hari ulang tahunnya. Sebuah huruf timbul bagi tunanetra.
Assallamu’allaikum
Semoga Allah selalu melindungimu..
Rasa syukur senantiasa aku panjatkan kepada Allah yang telah mempertemukanku denganmu, seorang seniman kehidupan yang memberikan banyak inspirasi kepadaku. Kau adalah bagian anugerah yang paling aku syukuri dalam hidup. Bersamamu, merupakan kenangan yang sulit terlupakan.
Faris, Allah telah mengabulkan keinginanmu. Sekarang kau bisa melihat!
Berbahagialah, kawan. Inilah dunia yang belum pernah kau lihat sebelumnya. Dan kau akan tahu seperti apa warna jingga! (Bukankah kau ingin sekali melihat warna jingga saat matahari mulai terbenam?) Kau bukan melihatnya hanya untuk satu kali, tapi sepanjang hidupmu, kau akan melihat jingga. Teriakkan jingga sepertiku dahulu.!
Aku baru menyadari, ketika di sampingmu aku merasa diriku ini menjadi berarti. Bersamamu pula aku telah menghabiskan waktu, menatap dan merasakan bersama kehadiran mentari yang akan terbenam dengan warna cantiknya. Kau tau, jingga merupakan warna terindah dalam hidupku semasa bersamamu.
Sahabatmu,
Raffi
Faris mendekap erat lembar kertas itu di dadanya. Sekarang ia sudah tahu siapa pemilik mata itu. Seseorang yang selama ini bersamanya dalam kurun waktu yang lama. Bukan suatu keajaiban lagi jika ia dapat melihat, Tuhan telah meneguhkan dalil-Nya untuk melihat dunia, melalui mata seorang sahabat yang ingin sekali melihatnya menatap jingga.
“Percayalah… suatu hari nanti kau akan melihat jingga..”
Kali pertamanya ia menangis sepanjang sejarah hidupnya. Tangis itu meleleh bahkan ketika pertama kali ia melihat dunia dan jingga.