Jumat, 28 Februari 2014

kehangatan SENYUMan itu ,, memberi keindahan pada DUNIA :) :) :)

kawan …
senyum itu ,, sederhana ..
hanya dengan menarik bibir kita,
membentuk segaris lengkungan yang mudah untuk dilakukan ..


senyum ..
.tak pernah meminta bayaran .. tapi harganya sungguh tak ternilai ..
.sebuah senyum hanya terjadi sekejap .. tapi kenangan tentangnya dapat bertahan begitu lama ..


senyum ..
menciptakan kebahagiaan untuk orang lain ..
dia mampu memberi rasa dalam letih, sinar terang dalam keputus asaan, sinar mentari dalam kesedihan, dan senyum juga memberikan semangat dalam semua kesulitan hidup..


Aku ..
Akan memberikan senyum termanisku .. :)
Senyum kehangatan ..
Untuk orang-orang yang ku sayangi ,, untuk orang-orang yang menyayangiku ,, untuk semua orang yang tersenyum kepadaku .. dan untuk dunia, dunia yang memberikan keindahan ini ..


Sebab aku tahu ..
senyuman termanis .. senyuman terindah ..
akan membawa keindahan bagi siapapun .. akan membawa kebahagiaan bagi siapapun ..
Agar aku bisa merasakan kebahagiaan bersama mereka .. dan tersenyum bersama mereka … :) :) :)

SENYUM ITU SEDEKAH

Senyum adalah sedekah, semua orang bisa tersenyum tapi tidak semua senyum bisa disebut sedekah karena ada senyum yang menggoda, ada senyum ejekan bahkan senyum berarti dendampun kerap terjadi, Namun ternyata tidak semua orang mampu bersedekah dengan senyum, inilah kisah sebagai pelajaran yang mudah tentang Senyum Juga Sebagai Sedekah.

Apa yang menyebabkan kita menyapa atau tidak menyapa, saat bertemu seseorang ? Kebanyakan kita menyapa karena kita mengenal atau minimal mengetahui seseorang itu. Bisa juga karena kita menyukai atau menghormati orang tersebut, karena memang kebiasaan, atau punya keperluan. Mungkin juga sekedar basa basi. Apapun itu, saya belajar banyak soal ini dari seorang anak kecil yang berbeda umur 26 th dari saya.

Setiap hari saat berjalan kaki menuju sekolahnya yang tak begitu jauh dari rumah, Faiz akan melewati deretan panjang rumah yang ada disekitar kami. Empat tahun yang lalu, ketika Faiz masih TK, saya takjub bagaimana cara ia menyapa…

Semua tetangga yang kebetulan dilewati atau ditemuinya di jalan, tak akan luput dari teguran ramah disertai senyum lebar faiz.

“Selamat pagi, pak, selamat pagi bu….”

“Assalamu’alaikum…”

“mari oma, mari opa….”

“dari mana Tante…?”

“Wah hari ini kakak berseri sekali”

“Mau kuliah bang?”

“eh ketemu adik cakep.. Mau kemana pagi-pagi sudah rapi?” Dan seterusnya…..

Saat ia duduk di kelas II SD, saya pernah bertanya pada Faiz, “Mas Faiz, apa kamu tak lelah menyapa begitu banyak orang setiap pagi?”

“Faiz tertawa. “ Tidaklah, Bunda. Aku senang karena senyum dan sapaku mungkin bukan mengawali pagiku saja. Tapi mengawali pagi orang lain. Lagipula senyum itukan sedekah, Bunda.” Saya nyengir. Pernyataan yang unik dari anak yang waktu itu belum berumur delapan tahun.

“Subhanallah. Kalau dihitung dengan uang, sedekahmu mungkin sudah milyaran”, ujar saya sambil mencium pipi Faiz yang memerah.

Setiap kali hadir pada arisan yang diadakan ibu-ibu sekitar rumah, mereka kerap membicarakan Faiz.

“Waduh, Faiz itu ramah sekali ya, Bu. Kalau bertemu saya, dia selalu menegur lebih dulu, senyumnya manis sekali.”

“kok bisa seperti itu sih bu? Bagaimana mendidiknya?” tanya salah satu peserta arisan kepada Bunda Faiz. Bunda Faiz hanya tersenyum. Bagaimana saya harus mengatakannya, ya? Sesungguhnya saya tak pernah mendidik Faiz secara khusus untuk menyapa dan tersenyum. Sayalah yang banyak belajar dari Faiz.

Terbayang lagi oleh Bundanya berbagai peristiwa yang terjadi sejak Faiz mulai duduk di bangku SD. Ketika ia ada di teras rumah, semua pengemis yang lewat selalu dipanggilnya, diajak makan dan minum. “pak kemari mampir dulu, hari ini di Bundaku masak sop dan perkedel.” Atau “Bapak mau bawa kopi untuk di jalan biar tidak mengantuk “?. Atau “mau teh manis dingin?” dan seringkali ia berlari ke kamar, mengambil celengan dan mengeluarkan lembaran kertas dari sana untuk diberikan pada mereka.

Belum lagi, semua tukang jualan, tukang sol sepatu, yang lewat pun disuruh mampir. Ada saja yang ditawarkannya.”Istirahat dulu di sini, Pak. Kan capek.hari ini panas sekali. Sini makan kue dan minum dulu. Atau mau makan nasi?” Selain itu ia pun akan bisik-bisik pada anggota keluarga lainnya untuk membeli sesuatu dari tukang jualan itu, meski kami tak terlalu membutuhkannya. “apa salahnya sih menolong orang?” ujarnya.

Maka di rumah mungil yang kami tempati, tak pernah ada hari dimana kami memasak sekedar pas untuk keluarga. Selalu ada tamu-tamu istimewa yang entah siapa. Karena Faiz mengundang mereka secara tak terduga.

“Ikhlas yaaa Bunda…..,” katanya sambil tersenyum manis.Tak ada kata lagi yang bisa Bunda Faiz ucapkan, meski dengan terbata Bunda Faiz hanya mampu memeluk Faiz kuat-kuat dengan senyum bahagia... :)

Minggu, 09 Februari 2014

SENJA itu ... INDAH :)


Lihatlah senja di ufuk sana ... begitu indah ,,
Dihiasi suasana alam ... hembuskan angin ..
Membuat daun nyiur melambai kegirangan ,,
Bersorak gembira dengan gesekan daunnya ..

Mentari pun enggan untuk melewatinya ,,
Terkesima dengan jingganya senja,,
Namun .. ia tak kuasa melawan kehendak,
yang kuasa melanggar garis yang ada ...

Keinginan hati pun kian sirna dibuatnya
Seiring angin berhembus dengan sayunya,,
Burung-burung berbondong untuk pulang,
Meninggalkan bayangan tak berjejak ..

Suasana menjadi sunyi .. sembunyi di balik sepi
Menata satu cerita menjadi kenangan dalam jiwa,
Mempersatukan suka dalam duka .. suram dan keindahan
Menjadi coretan lama dalam kehidupan ..

Bintang pun mulai beranjak dari peristirahatannya
Bertebarab menghiasi malam dalam kekelaman,,
Mengantar sebuah kenangan yang dititipkan senja
Ke tempat yang hakiki dalam keabadian ....

RENUNGAN SENJA



Kala senja berkilau cahaya emas menyapamu, 
Mendekapmu hangat selaksa ibu memeluk anaknya, 
Adakah engkau menyadari kebesaran Tuhan, 
Akankah kau bersyukur atas karunia-Nya. 

Ketika hembusan angin menyisir kulit di sekujur tubuhmu, 
Menawarkan kesejukan pada gersangnya pori-porimu, 
Adakah kau sadar hidup ini hanyalah persinggahan, 
Akankah kau berusaha meraih kebahagiaan sejati. 

Saat senja semakin kabur dari jarak panjang, 
Mengiringi langkah mentari yang kian terbenam, 
Adakah terlintas di benakmu tuk membasuh wajah kusutmu, 
Akankah kau bersujud dan berdoa pada-Nya. 

Renungkanlah wahai kawan, 
Atas tutur kata yang telah terucap, 
Atas tindak-tanduk yang telah tegerak, 
Demi pijakan dan pergerakan di hari esok.

:) :) :)

CERPEN

JINGGA DI KALA SENJA 
karya: Shabiet As-Shehan

Raffi tertegun mengamati seseorang yang kini berada di sampingnya. Ia tengah menatap langit cerah kebiruan, yang entah baginya tampak indah atau sebaliknya. Tapi Raffi memastikan bahwa Faris, lelaki di sampingnya itu, tidak bisa memandang indahnya lanskap langit biru yang terbentang luas di angkasa. Hanya kegelapan. Ya, hitam di matanya.

“Terkadang aku merasa heran,.” Ujar Raffi berhati-hati.
“Bagaimana mungkin kau bisa bertahan menjalani hidup ini dengan kegelapan yang kau alami?” Tanya Raffi selanjutnya lalu Faris menarik kedua otot pipinya naik dua centimeter untuk tersenyum. Tulus dan tanpa beban. Matanya tetap menjurus kedepan masih menatap jauh nun disana langit terbentang.

“Boleh aku tersenyum?” Faris berbasa-basi mencairkan suasana.
Raffi menganggukan kepalanya tanpa sepengetahuan Faris.
“Satu hal yang harus kau ketahui, “ kata Faris lalu berhenti sejenak menghela nafas panjang hendak melanjutkan ucapannya kembali.
“Jika kita menghadapi segala sesuatu dengan jiwa lapang, yakinlah bahwa kita akan memperoleh banyak kegembiraan yang semakin harinya akan semakin bertambah. Karena kita termasuk orang-orang yang pandai bersyukur menikmati hidup.” Faris diam beberapa detik. “ Kita harus menyadari bahwa bila kita menjalani segala sesuatu yang terasa sempit, sebenarnya .. jiwa kita lah yang sempit, bukan yang tengah kita jalani.”

Seketika itu Raffi merinding mendengarkan ucapan Faris. Ia terlontar dalam untaian kata yang sarat makna. Fikirannya terbang terseret memasuki pusaran makna yang mendalam di hatinya. Faris tersenyum kecil. Senyum itu masih seperti dulu, seperti petama kali bertemu.
* * * 

Raffi mencermati sosok Faris dari tirai jendela. Hatinya berduka, tapi ia tersenyum ramah menyantuni orang-orang yang berkunjung kerumahnya, berbela sungkawa atas musibah yang menimpa keluarganya. Ayah dan kakaknya telah meninggal dunia, setelah mengalami kecelakaan lalu lintas waktu itu. Kini hanya tersisa ibu dan dirinya yang mengalami kebutaan semasa ia lahir di dunia.
Raffi merasa iba melihatnya yang sedang duduk tepekur di depan rumah seraya tersenyum menyalami siapa saja yang datang kerumah. Faris tidak bisa melihat bahwa di hadapannya telah bertandang tenda, kursi-kursi plastik, dan bendera, tanda keluarga yang berduka cita. Anehnya, Faris bersikap tenang dan tegar menghadapi duka kehilangan dua anggota keluarganya sekaligus. Ia tetap tersenyum, meski di kedalaman hatinya Raffi menerka bahwa hatinya sedang berduka, merintih menangis perih. Belum pernah Raffi melihatnya menangis, seperti kebanyakan anak-anak seusianya yang berusia 14 tahun, ketika di tinggal pergi keluarganya yang meninggal dunia. Faris tidak menangis! Tidak sedikitpun air matanya jatuh. Bukan berarti ia telah mati rasa ataupun hatinya telah membatu menerima segala derita hidup, melainkan Faris telah terbiasa menerima jalan hidupnya dengan lapang dada. Lihatlah, di sekililing rumah itu terdengar jelas tangis ratapan yang begitu menyayat hati bagi orang-orang yang berdatangan. Lihatlah, anak sekecil itu yang duduk mantap menyambut hangat tiap orang yang mendatangi rumahnya dengan senyum indahnya, senyum duka yang mendalam.

“Kok, tidak menangis saat keluarga mu ada yang meninggal? Bertanyalah Raffi dengan polos keesokan harinya.
Faris tersenyum. “Kenapa?”desak Raffi ingin tau. “Sudah terlalu banyak tumpahan air mata dirumah ini. Aku sudah berjanji dalam diri untuk tetap bersabar dan tersenyum. Lagi pula akan lebih menyedihkan jika aku ikut menangis.” Ujarnya tenang.
“Jika kepergian mereka tidak bisa membuatmu menangis, lalu.. apa yang membuatmu bisa menangis?” Tanya Raffi lagi masih dengan perasaan heran sekaligus penasaran.
Faris menarik nafasnya dalam, lalu ia hembuskan pelan-pelan. “Aku akan menangis, jika aku tidak bisa memberikan sesuatu yang berarti semasa hidupku…” jawabnya lalu tersenyum.
* * * 

Sejak itulah Raffi mulai tertarik pada kehidupan Faris. Mereka tumbuh menjadi besar secara bersama. Bermain, belajar, dan menatap senja ketika matahari terbenam. Setiap harinya, di penghujung sore, mereka akan duduk lama di gundukkan bukit yang cukup tinggi, sekedar untuk memandang mentari terbenam dan melihat warna jingga yang indah. Raffi akan membawa Faris dengan hati-hati ketika mendaki bukit yang tidak begitu curam atau pun membahayakan. Faris bisa merasakan indah dan mempesonanya matahari saat terbenam.

“Oh ya, bagaimana perkembanganmu mengenali huruf-huruf timbul itu?” Tanya Raffi sembari menunggu senja mentari terbenam.
“Aku sudah belajar mengenali huruf-huruf misteri itu..” jawab Faris seraya melipat kedua tangannya, gaya sombongnya saat bergurau.
“Hahaha… kau hebat! Sebenarnya aku telah yakin, bahwa kau pasti akan menaklukkan huruf-huruf misteri itu.” Raffi menepuk-nepuk bahunya pelan.
Faris benar-benar sukses mengenali huruf-huruf timbul (Braile) itu. Dalam kurun waktu satu bulan, ia telah terampil membaca berdasarkan insting setelah mengenali huruf timbul terlebih dahulu.
“Sampai saat ini, aku bercita-cita ingin sekali melihat jingga, warna indah saat matahari terbenam. Seperti yang sering kau lihat, yang kau ceritakan tiap detail warna jingga secara ilmu pengetahuan kepadaku.” Tutur Faris tatkala Raffi meneriakkan dengan lantang warna jingga.
Raffi terdiam dan lunglai.
“Sekali saja dalam hidup, aku ingin sekali melihat jingga…” Suara Faris lirih, menyiratkan rindu terdalam yang tak mampu lagi terbendungkan.
“Bukan hanya sekali kau akan melihat jingga, tapi setiap hari, setiap sore, dan selamanya..” gumam Raffi dalam hati.

“Fi?” sapa Faris linglung seketika Raffi tak bersuara.
“Percayalah… suatu hari nanti, kau akan melihatnya…” kata Raffi lalu menyeka bulir air mata yang menggenang di kedua sudut matanya.
Faris tertawa. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya seolah ia menertawakan ucapan Raffi yang dianggapnya bahwa itu hanyalah mimpi untuk menghibur tunanetra yang berharap keajaiban untuk dapat melihat.
Raffi tertunduk lemah dengan hati yang berdoa. Sementara Faris, tertawa..tertawa… menghibur dirinya dengan gelak tawa.
* * * 

“Bagaimana dengan anakku, Dok?” seorang Ibu yang bertanya kepada Dokter dengan nada yang bergetar di iringi cemas yang mendalam.
“Setelah melakukan tes laboratorium darah dan CT Scan...,” Dokter itu berhenti beberapa detik kemudian untuk menghela nafas , lalu melanjutkan kembali ucapannya. “Anak ibu ,.. menderita kanker yang bersarang di otaknya. Hasilnya menunjukkan bahwa penyakit tersebut telah mencapai stadium empat. Dan…” dengan berat hati, Dokter itu mengatakan kepada sang Ibu . “ Sebagai manusia kita hanya mampu berusaha dan Tuhan jualah yang menentukan.“

Lalu Dokter itu tertunduk dalam, tak sampai hati melihat sang Ibu yang tercenung pilu dengan linangan air mata.
“Hanya pertolongan Allah lah yang bisa menyelamatkan nyawanya. Jika selamat tentu itu sebuah keajaiban.” Tak di hiraukan lagi sang Ibu beranjak pergi meninggalkan ruangan Dokter itu, dan berlari membawa tangisan hingga mendekati ruangan tempat anaknya di rawat. Raffi tengah terbaring lemah. Dengan wajah pucat kebiruan. Senyumnya terkembang, ia tahu atas apa yang akan terjadi pada dirinya nanti. Vonis telah di jatuhkan, dan menyimpulkan bahwa Raffi takkan terselamatkan. Hanya keajaiban Tuhanlah sesuatu yang mustahil terjadi akan terjadi. Kun fayakkun.
“Benar, jika jiwa yang lapang menerima tiap ujian akan membuat seseorang menjadi tegar.” Gumam Raffi seketika itu teringat akan ucapan Faris tempo dulu. Raffi pasrah bukan berarti menyerah. Jika ini memang sudah digariskan Tuhan untuknya, ia menerima.
“Tapi, apakah aku sudah memberikan sesuatu yang berarti sebelum kepergianku dari dunia ini?” Begitu lah gemuruh jiwa Raffi. Satu bulan kemudian. Mentari tak lagi bersinar. Cahayanya redup tertutup gumpalan awan-gumawan yang menghitam. Tak lama lagi akan turun hujan. Begitulah orang-orang menerka keadaan alam. Mata itu perlahan telah terpejam, gelap gulita tanpa cahaya. Semua menjadi sunyi, sepi, dan sendiri. Gerakan tiap inci jarum jam tak juga maju, dan tak pula mundur. Ia berhenti pada satu arah. Hari-hari yang panjang itu terputus sampai disini. Ia telah menutup dengan rapi lembaran-lembaran episode hidup ini. Tapi ini bukan akhir dari segalanya , melainkan ini adalah awal kehidupan yang baru bagi setiap insan di dunia.
* * * 

“Sekarang bukalah matamu perlahan-lahan…” pinta Dokter setelah melepaskan perban di mata nya.
Faris merasa takjub. Ia telah melihat dunia. Sesuatu yang mustahil itu telah terjadi.
Ya, akhirnya ia bisa melihat untuk pertama kalinya menatap dunia!
Ia melihat dua orang yang berada di hadapannya dengan senyum kegembiraan menyambut dunia baru bagi Faris.

“Selamat datang, Faris….” Dokter itu tersenyum puas, karena tugas nya telah selesai dengan hasil yang memuaskan.
Di sebelah Dokter itu, ada seorang wanita separuh baya, ikut pula menyambutnya dengan suka cita.

“Ibu…” seru Faris.
Lalu mereka berpelukan. Rasa bahagia secepat itu menyesakkan dadanya. Faris sangat bersyukur atas kemurahan Allah yang telah menganugerahi mata untuknya.

Lalu? Tanya Faris berdengung-dengung dalam hati.
“ Siapa yang telah mendonorkan mata ini untukku?”
“Ibu, siapa orang yang telah berbaik hati mendonorkan mata ini kepadaku? Katakanlah, Bu.. Siapa orang itu?” Tanya Faris tak sabar.
“Cepat beri tahu aku, aku ingin sekali bertemu dengannya, dan memeluk nya dengan rasa ucapan beribu-ribu terima kasihku padanya, Bu…” buru Faris pula.

Lalu ibunya tak bisa berkata-kata lagi. Ia terdiam dengan air mata yang berjatuhan. Ia harus berpegang janji untuk tidak memberitahukan orang yang telah mendonorkan mata untuknya sebelum Faris benar-benar pulih. Tapi, keadaan telah berubah, tak sesuai rencana. Faris selalu saja mendesak ingin tahu pemilik mata yang berhati mulia ini segera.

“Bu,..” ujar Faris lirih . “ Tunjukkan padaku sekarang juga, siapa pemilik mata ini?” Desah Faris .

Setelah cukup lama, dengan sangat terpaksa dan berat hati, ibunya telah mengingkari janji dan memberinya sepucuk surat dari sang pemilik mata. Faris segera meraihnya, dan tak terkejut lagi setelah di dalamnya terdapat banyak tulisan. Karena sebelumnya ia telah mengenal dan menguasai tulisan itu setelah Raffi menghadiahi sebuah Braile di hari ulang tahunnya. Sebuah huruf timbul bagi tunanetra.


Assallamu’allaikum Semoga Allah selalu melindungimu.. 
Rasa syukur senantiasa aku panjatkan kepada Allah yang telah mempertemukanku denganmu, seorang seniman kehidupan yang memberikan banyak inspirasi kepadaku. Kau adalah bagian anugerah yang paling aku syukuri dalam hidup. Bersamamu, merupakan kenangan yang sulit terlupakan. 

Faris, Allah telah mengabulkan keinginanmu. Sekarang kau bisa melihat! 
Berbahagialah, kawan. Inilah dunia yang belum pernah kau lihat sebelumnya. Dan kau akan tahu seperti apa warna jingga! (Bukankah kau ingin sekali melihat warna jingga saat matahari mulai terbenam?) Kau bukan melihatnya hanya untuk satu kali, tapi sepanjang hidupmu, kau akan melihat jingga. Teriakkan jingga sepertiku dahulu.! 

Aku baru menyadari, ketika di sampingmu aku merasa diriku ini menjadi berarti. Bersamamu pula aku telah menghabiskan waktu, menatap dan merasakan bersama kehadiran mentari yang akan terbenam dengan warna cantiknya. Kau tau, jingga merupakan warna terindah dalam hidupku semasa bersamamu. 

Sahabatmu, 
Raffi 


Faris mendekap erat lembar kertas itu di dadanya. Sekarang ia sudah tahu siapa pemilik mata itu. Seseorang yang selama ini bersamanya dalam kurun waktu yang lama. Bukan suatu keajaiban lagi jika ia dapat melihat, Tuhan telah meneguhkan dalil-Nya untuk melihat dunia, melalui mata seorang sahabat yang ingin sekali melihatnya menatap jingga.

“Percayalah… suatu hari nanti kau akan melihat jingga..”
Kali pertamanya ia menangis sepanjang sejarah hidupnya. Tangis itu meleleh bahkan ketika pertama kali ia melihat dunia dan jingga.

Jumat, 07 Februari 2014

SENJA JINGGA :)

SENJA kini berganti malam ……
Seperti kata “drive” dalam lagunya “bersama bintang” ..


Senja memang telah berganti malam .. setelah ia memberi senyuman termanisnya untuk semua orang .. :)
Senja yang datang telah berganti dengan taburan berjuta bintang ..
Senyuman manis itu kini telah berganti dengan sejuta tawa keceriaan ..


Saat angkasa mulai mencetak kilau-kilau jingga ,,
Saat senja itu mulai tertata di angkasa ,,
Saat itu pula,
Senja mampu menghadirkan fenomena terindah dalam hidup ini…

SENJA itu …
Memberi banyak warna.. biru, kelam, hitam, putih berkilau, jingga, orange, kuning, merah berbaur menjadi satu tanpa harus menghilangkan identitas mereka masing-masing..


Kebertahanan warna-warna itu membuat keindahan senja menjadi lebih berharga.

SENJA itu ..
Memberi ketenangan,, menangkap siluet lukisan warna yang unik yang hanya bisa dinikmati dalam waktu singkat.

SENJA ...
Mengingatkan kita, bahwa keakraban dengan sang mentari di pagi hari harus segera diakhiri,, 


Mengingatkan kita, bahwa terang akan segera berakhir berganti gelap yang akan menemani,,
Mengantar kita pada peristirahatan yang melegakan di malam hari.

SENJA juga …
Mengingatkan saatnya waktu berinteropeksi itu tiba,,
Sudah berapa banyak kebaikan dan keburukan yang telah kita lakukan pada hari itu..

SENJA …
Membuat kita bersyukur atas nikmat yang telah Dia berikan untuk kita seharian itu,,


Membentuk semangat baru agar lebih kuat untuk menghadapi hari esok,,
Dan memberikan kita banyak pelajaran agar kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik di masa depan .. :)

Sabtu, 01 Februari 2014

sebuah pesan dari SANG HELIUM ...


Bagai helium dalam ribuan saraf
Berpencar dalam ruang kosong
Mengisi aku

Membumbung tinggi melayang
Bebas menari menyapa langit
Menerbangkan aku

Kita, warna-warni yang memberi senyum pada dunia

Pegang erat aku dengan ujung jarimu
Jangan pernah lepas

Aku tidak mau tersesat di angkasa
Melayang tanpa tujuan arah
Sepi sendiri

Bahkan lebih buruk lagi

Aku hilang
Tidak akan pernah kembali padamu lagi
Dan aku takut itu.

BALON CITA-CITA


Sorak-sorak ramai terdengar. Saat itu puluhan anak sedang berusaha keras untuk meniup balon dengan pelan-pelan hingga meletus. Dag dig dug, mungkin akan terdengar suara degupan jantung di dada mereka. Hmm... mereka adalah puluhan anak-anak yatim piatu di Yayasan Sosial Yadayanu, Kabupaten Semarang. 

Saat itu kami dari remaja masjid melakukan kegiatan Santunan Anak Yatim. Dan saya dipasrahi untuk membawakan acara game buat anak-anak. Kemudian terpikir untuk bercerita motivasi, ”Elang”, sebuah kisah anak elang yang hidup dilingkungan anak ayam, dan akhirnya mati layaknya seekor ayam. 

 ”Siapa tau adik-adik disini adalah seperti anak Elang tadi, adik-adik punya bakat luar biasa jadi Elang, Yang hidup di tempat yang tertinggi, dan akan mati di tempat yang tertinggi pula...!” 

”Tapi sayangnya adik-adik berada dilingkungan Ayam..., maka abaikan ”nasehat” ayam itu, yang mengubur impianmu menjadi Elang sejati!.. Abaikan, dan jadilah Elang!” kata-kataku berapi-api. 

”Sekarang Tuliskan semua cita-cita tertinggimu, di balon itu...! Dan tiuplah hingga besar dan besar hinggal meletus! Dengan semangat tuk mengimpikan dan meraih cita-cita Adik-adik sekalian! Ayo Mulai...!” Teriaku.

Luar biasa..., satu persatu balon meletus..., ada yang mantab, ada yang ragu dan takut, bahkan ada yang tidak berani meniup balon hingga pecah, takut suaranya akan mengagetkan dirinya. 

Akhirnya, lima dari puluhan anak peniup balon yang paling cepat meletus, kami berikan hadiah... Terpancar senyuman dan semangat di wajah mereka. Semoga mereka tidak akan merasa minder lagi, walau mereka seorang anak Yatim Piatu yang tinggal di panti asuhan. 

Ya Allah Tuhanku... Kabulkanlah cita-cita mereka.... 

***

Teman ...
Dalam perjuangan meraih cita-cita pastinya halangan dan rintangan akan selalu menghampiri. Dan semua rintangan sangat bergantung dengan mental diri kita. Apakah kita berani? Apakah kita tidak ragu? Atau sebaliknya, kita ragu dan takut?. 

Seperti dalam cerita meniup balon tadi, terkadang kita takut jika balon itu pecah memekikkan telinga, kita takut jika pecahan itu mengenai mata kita, sehingga kita ragu dan takut. Padahal kita sudah melihat bahwa orang lain banyak yang telah berhasil melakukannya. Lalu kenapa kita musti merasa ragu dan takut?

Teman ...
Hilangkanlah keraguan dan ketakutanmu tuk meraih cita-cita kita..., Keberhasilan akan diraih bagi mereka yang berani. 

”Tiuplah hingga besar dan besar balon cita-cita kita hinggal meletus! Dengan semangat tuk mengimpikan dan meraih cita-cita kita! Berusahalah kita menjadi yang pertama meletuskan balon itu !!!"   :)
 

AKU BELAJAR "KEHIDUPAN" dari "MEREKA" Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by web hosting