Jumat, 28 Februari 2014

kehangatan SENYUMan itu ,, memberi keindahan pada DUNIA :) :) :)

kawan …
senyum itu ,, sederhana ..
hanya dengan menarik bibir kita,
membentuk segaris lengkungan yang mudah untuk dilakukan ..


senyum ..
.tak pernah meminta bayaran .. tapi harganya sungguh tak ternilai ..
.sebuah senyum hanya terjadi sekejap .. tapi kenangan tentangnya dapat bertahan begitu lama ..


senyum ..
menciptakan kebahagiaan untuk orang lain ..
dia mampu memberi rasa dalam letih, sinar terang dalam keputus asaan, sinar mentari dalam kesedihan, dan senyum juga memberikan semangat dalam semua kesulitan hidup..


Aku ..
Akan memberikan senyum termanisku .. :)
Senyum kehangatan ..
Untuk orang-orang yang ku sayangi ,, untuk orang-orang yang menyayangiku ,, untuk semua orang yang tersenyum kepadaku .. dan untuk dunia, dunia yang memberikan keindahan ini ..


Sebab aku tahu ..
senyuman termanis .. senyuman terindah ..
akan membawa keindahan bagi siapapun .. akan membawa kebahagiaan bagi siapapun ..
Agar aku bisa merasakan kebahagiaan bersama mereka .. dan tersenyum bersama mereka … :) :) :)

SENYUM ITU SEDEKAH

Senyum adalah sedekah, semua orang bisa tersenyum tapi tidak semua senyum bisa disebut sedekah karena ada senyum yang menggoda, ada senyum ejekan bahkan senyum berarti dendampun kerap terjadi, Namun ternyata tidak semua orang mampu bersedekah dengan senyum, inilah kisah sebagai pelajaran yang mudah tentang Senyum Juga Sebagai Sedekah.

Apa yang menyebabkan kita menyapa atau tidak menyapa, saat bertemu seseorang ? Kebanyakan kita menyapa karena kita mengenal atau minimal mengetahui seseorang itu. Bisa juga karena kita menyukai atau menghormati orang tersebut, karena memang kebiasaan, atau punya keperluan. Mungkin juga sekedar basa basi. Apapun itu, saya belajar banyak soal ini dari seorang anak kecil yang berbeda umur 26 th dari saya.

Setiap hari saat berjalan kaki menuju sekolahnya yang tak begitu jauh dari rumah, Faiz akan melewati deretan panjang rumah yang ada disekitar kami. Empat tahun yang lalu, ketika Faiz masih TK, saya takjub bagaimana cara ia menyapa…

Semua tetangga yang kebetulan dilewati atau ditemuinya di jalan, tak akan luput dari teguran ramah disertai senyum lebar faiz.

“Selamat pagi, pak, selamat pagi bu….”

“Assalamu’alaikum…”

“mari oma, mari opa….”

“dari mana Tante…?”

“Wah hari ini kakak berseri sekali”

“Mau kuliah bang?”

“eh ketemu adik cakep.. Mau kemana pagi-pagi sudah rapi?” Dan seterusnya…..

Saat ia duduk di kelas II SD, saya pernah bertanya pada Faiz, “Mas Faiz, apa kamu tak lelah menyapa begitu banyak orang setiap pagi?”

“Faiz tertawa. “ Tidaklah, Bunda. Aku senang karena senyum dan sapaku mungkin bukan mengawali pagiku saja. Tapi mengawali pagi orang lain. Lagipula senyum itukan sedekah, Bunda.” Saya nyengir. Pernyataan yang unik dari anak yang waktu itu belum berumur delapan tahun.

“Subhanallah. Kalau dihitung dengan uang, sedekahmu mungkin sudah milyaran”, ujar saya sambil mencium pipi Faiz yang memerah.

Setiap kali hadir pada arisan yang diadakan ibu-ibu sekitar rumah, mereka kerap membicarakan Faiz.

“Waduh, Faiz itu ramah sekali ya, Bu. Kalau bertemu saya, dia selalu menegur lebih dulu, senyumnya manis sekali.”

“kok bisa seperti itu sih bu? Bagaimana mendidiknya?” tanya salah satu peserta arisan kepada Bunda Faiz. Bunda Faiz hanya tersenyum. Bagaimana saya harus mengatakannya, ya? Sesungguhnya saya tak pernah mendidik Faiz secara khusus untuk menyapa dan tersenyum. Sayalah yang banyak belajar dari Faiz.

Terbayang lagi oleh Bundanya berbagai peristiwa yang terjadi sejak Faiz mulai duduk di bangku SD. Ketika ia ada di teras rumah, semua pengemis yang lewat selalu dipanggilnya, diajak makan dan minum. “pak kemari mampir dulu, hari ini di Bundaku masak sop dan perkedel.” Atau “Bapak mau bawa kopi untuk di jalan biar tidak mengantuk “?. Atau “mau teh manis dingin?” dan seringkali ia berlari ke kamar, mengambil celengan dan mengeluarkan lembaran kertas dari sana untuk diberikan pada mereka.

Belum lagi, semua tukang jualan, tukang sol sepatu, yang lewat pun disuruh mampir. Ada saja yang ditawarkannya.”Istirahat dulu di sini, Pak. Kan capek.hari ini panas sekali. Sini makan kue dan minum dulu. Atau mau makan nasi?” Selain itu ia pun akan bisik-bisik pada anggota keluarga lainnya untuk membeli sesuatu dari tukang jualan itu, meski kami tak terlalu membutuhkannya. “apa salahnya sih menolong orang?” ujarnya.

Maka di rumah mungil yang kami tempati, tak pernah ada hari dimana kami memasak sekedar pas untuk keluarga. Selalu ada tamu-tamu istimewa yang entah siapa. Karena Faiz mengundang mereka secara tak terduga.

“Ikhlas yaaa Bunda…..,” katanya sambil tersenyum manis.Tak ada kata lagi yang bisa Bunda Faiz ucapkan, meski dengan terbata Bunda Faiz hanya mampu memeluk Faiz kuat-kuat dengan senyum bahagia... :)

Minggu, 09 Februari 2014

SENJA itu ... INDAH :)


Lihatlah senja di ufuk sana ... begitu indah ,,
Dihiasi suasana alam ... hembuskan angin ..
Membuat daun nyiur melambai kegirangan ,,
Bersorak gembira dengan gesekan daunnya ..

Mentari pun enggan untuk melewatinya ,,
Terkesima dengan jingganya senja,,
Namun .. ia tak kuasa melawan kehendak,
yang kuasa melanggar garis yang ada ...

Keinginan hati pun kian sirna dibuatnya
Seiring angin berhembus dengan sayunya,,
Burung-burung berbondong untuk pulang,
Meninggalkan bayangan tak berjejak ..

Suasana menjadi sunyi .. sembunyi di balik sepi
Menata satu cerita menjadi kenangan dalam jiwa,
Mempersatukan suka dalam duka .. suram dan keindahan
Menjadi coretan lama dalam kehidupan ..

Bintang pun mulai beranjak dari peristirahatannya
Bertebarab menghiasi malam dalam kekelaman,,
Mengantar sebuah kenangan yang dititipkan senja
Ke tempat yang hakiki dalam keabadian ....

RENUNGAN SENJA



Kala senja berkilau cahaya emas menyapamu, 
Mendekapmu hangat selaksa ibu memeluk anaknya, 
Adakah engkau menyadari kebesaran Tuhan, 
Akankah kau bersyukur atas karunia-Nya. 

Ketika hembusan angin menyisir kulit di sekujur tubuhmu, 
Menawarkan kesejukan pada gersangnya pori-porimu, 
Adakah kau sadar hidup ini hanyalah persinggahan, 
Akankah kau berusaha meraih kebahagiaan sejati. 

Saat senja semakin kabur dari jarak panjang, 
Mengiringi langkah mentari yang kian terbenam, 
Adakah terlintas di benakmu tuk membasuh wajah kusutmu, 
Akankah kau bersujud dan berdoa pada-Nya. 

Renungkanlah wahai kawan, 
Atas tutur kata yang telah terucap, 
Atas tindak-tanduk yang telah tegerak, 
Demi pijakan dan pergerakan di hari esok.

:) :) :)

CERPEN

JINGGA DI KALA SENJA 
karya: Shabiet As-Shehan

Raffi tertegun mengamati seseorang yang kini berada di sampingnya. Ia tengah menatap langit cerah kebiruan, yang entah baginya tampak indah atau sebaliknya. Tapi Raffi memastikan bahwa Faris, lelaki di sampingnya itu, tidak bisa memandang indahnya lanskap langit biru yang terbentang luas di angkasa. Hanya kegelapan. Ya, hitam di matanya.

“Terkadang aku merasa heran,.” Ujar Raffi berhati-hati.
“Bagaimana mungkin kau bisa bertahan menjalani hidup ini dengan kegelapan yang kau alami?” Tanya Raffi selanjutnya lalu Faris menarik kedua otot pipinya naik dua centimeter untuk tersenyum. Tulus dan tanpa beban. Matanya tetap menjurus kedepan masih menatap jauh nun disana langit terbentang.

“Boleh aku tersenyum?” Faris berbasa-basi mencairkan suasana.
Raffi menganggukan kepalanya tanpa sepengetahuan Faris.
“Satu hal yang harus kau ketahui, “ kata Faris lalu berhenti sejenak menghela nafas panjang hendak melanjutkan ucapannya kembali.
“Jika kita menghadapi segala sesuatu dengan jiwa lapang, yakinlah bahwa kita akan memperoleh banyak kegembiraan yang semakin harinya akan semakin bertambah. Karena kita termasuk orang-orang yang pandai bersyukur menikmati hidup.” Faris diam beberapa detik. “ Kita harus menyadari bahwa bila kita menjalani segala sesuatu yang terasa sempit, sebenarnya .. jiwa kita lah yang sempit, bukan yang tengah kita jalani.”

Seketika itu Raffi merinding mendengarkan ucapan Faris. Ia terlontar dalam untaian kata yang sarat makna. Fikirannya terbang terseret memasuki pusaran makna yang mendalam di hatinya. Faris tersenyum kecil. Senyum itu masih seperti dulu, seperti petama kali bertemu.
* * * 

Raffi mencermati sosok Faris dari tirai jendela. Hatinya berduka, tapi ia tersenyum ramah menyantuni orang-orang yang berkunjung kerumahnya, berbela sungkawa atas musibah yang menimpa keluarganya. Ayah dan kakaknya telah meninggal dunia, setelah mengalami kecelakaan lalu lintas waktu itu. Kini hanya tersisa ibu dan dirinya yang mengalami kebutaan semasa ia lahir di dunia.
Raffi merasa iba melihatnya yang sedang duduk tepekur di depan rumah seraya tersenyum menyalami siapa saja yang datang kerumah. Faris tidak bisa melihat bahwa di hadapannya telah bertandang tenda, kursi-kursi plastik, dan bendera, tanda keluarga yang berduka cita. Anehnya, Faris bersikap tenang dan tegar menghadapi duka kehilangan dua anggota keluarganya sekaligus. Ia tetap tersenyum, meski di kedalaman hatinya Raffi menerka bahwa hatinya sedang berduka, merintih menangis perih. Belum pernah Raffi melihatnya menangis, seperti kebanyakan anak-anak seusianya yang berusia 14 tahun, ketika di tinggal pergi keluarganya yang meninggal dunia. Faris tidak menangis! Tidak sedikitpun air matanya jatuh. Bukan berarti ia telah mati rasa ataupun hatinya telah membatu menerima segala derita hidup, melainkan Faris telah terbiasa menerima jalan hidupnya dengan lapang dada. Lihatlah, di sekililing rumah itu terdengar jelas tangis ratapan yang begitu menyayat hati bagi orang-orang yang berdatangan. Lihatlah, anak sekecil itu yang duduk mantap menyambut hangat tiap orang yang mendatangi rumahnya dengan senyum indahnya, senyum duka yang mendalam.

“Kok, tidak menangis saat keluarga mu ada yang meninggal? Bertanyalah Raffi dengan polos keesokan harinya.
Faris tersenyum. “Kenapa?”desak Raffi ingin tau. “Sudah terlalu banyak tumpahan air mata dirumah ini. Aku sudah berjanji dalam diri untuk tetap bersabar dan tersenyum. Lagi pula akan lebih menyedihkan jika aku ikut menangis.” Ujarnya tenang.
“Jika kepergian mereka tidak bisa membuatmu menangis, lalu.. apa yang membuatmu bisa menangis?” Tanya Raffi lagi masih dengan perasaan heran sekaligus penasaran.
Faris menarik nafasnya dalam, lalu ia hembuskan pelan-pelan. “Aku akan menangis, jika aku tidak bisa memberikan sesuatu yang berarti semasa hidupku…” jawabnya lalu tersenyum.
* * * 

Sejak itulah Raffi mulai tertarik pada kehidupan Faris. Mereka tumbuh menjadi besar secara bersama. Bermain, belajar, dan menatap senja ketika matahari terbenam. Setiap harinya, di penghujung sore, mereka akan duduk lama di gundukkan bukit yang cukup tinggi, sekedar untuk memandang mentari terbenam dan melihat warna jingga yang indah. Raffi akan membawa Faris dengan hati-hati ketika mendaki bukit yang tidak begitu curam atau pun membahayakan. Faris bisa merasakan indah dan mempesonanya matahari saat terbenam.

“Oh ya, bagaimana perkembanganmu mengenali huruf-huruf timbul itu?” Tanya Raffi sembari menunggu senja mentari terbenam.
“Aku sudah belajar mengenali huruf-huruf misteri itu..” jawab Faris seraya melipat kedua tangannya, gaya sombongnya saat bergurau.
“Hahaha… kau hebat! Sebenarnya aku telah yakin, bahwa kau pasti akan menaklukkan huruf-huruf misteri itu.” Raffi menepuk-nepuk bahunya pelan.
Faris benar-benar sukses mengenali huruf-huruf timbul (Braile) itu. Dalam kurun waktu satu bulan, ia telah terampil membaca berdasarkan insting setelah mengenali huruf timbul terlebih dahulu.
“Sampai saat ini, aku bercita-cita ingin sekali melihat jingga, warna indah saat matahari terbenam. Seperti yang sering kau lihat, yang kau ceritakan tiap detail warna jingga secara ilmu pengetahuan kepadaku.” Tutur Faris tatkala Raffi meneriakkan dengan lantang warna jingga.
Raffi terdiam dan lunglai.
“Sekali saja dalam hidup, aku ingin sekali melihat jingga…” Suara Faris lirih, menyiratkan rindu terdalam yang tak mampu lagi terbendungkan.
“Bukan hanya sekali kau akan melihat jingga, tapi setiap hari, setiap sore, dan selamanya..” gumam Raffi dalam hati.

“Fi?” sapa Faris linglung seketika Raffi tak bersuara.
“Percayalah… suatu hari nanti, kau akan melihatnya…” kata Raffi lalu menyeka bulir air mata yang menggenang di kedua sudut matanya.
Faris tertawa. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya seolah ia menertawakan ucapan Raffi yang dianggapnya bahwa itu hanyalah mimpi untuk menghibur tunanetra yang berharap keajaiban untuk dapat melihat.
Raffi tertunduk lemah dengan hati yang berdoa. Sementara Faris, tertawa..tertawa… menghibur dirinya dengan gelak tawa.
* * * 

“Bagaimana dengan anakku, Dok?” seorang Ibu yang bertanya kepada Dokter dengan nada yang bergetar di iringi cemas yang mendalam.
“Setelah melakukan tes laboratorium darah dan CT Scan...,” Dokter itu berhenti beberapa detik kemudian untuk menghela nafas , lalu melanjutkan kembali ucapannya. “Anak ibu ,.. menderita kanker yang bersarang di otaknya. Hasilnya menunjukkan bahwa penyakit tersebut telah mencapai stadium empat. Dan…” dengan berat hati, Dokter itu mengatakan kepada sang Ibu . “ Sebagai manusia kita hanya mampu berusaha dan Tuhan jualah yang menentukan.“

Lalu Dokter itu tertunduk dalam, tak sampai hati melihat sang Ibu yang tercenung pilu dengan linangan air mata.
“Hanya pertolongan Allah lah yang bisa menyelamatkan nyawanya. Jika selamat tentu itu sebuah keajaiban.” Tak di hiraukan lagi sang Ibu beranjak pergi meninggalkan ruangan Dokter itu, dan berlari membawa tangisan hingga mendekati ruangan tempat anaknya di rawat. Raffi tengah terbaring lemah. Dengan wajah pucat kebiruan. Senyumnya terkembang, ia tahu atas apa yang akan terjadi pada dirinya nanti. Vonis telah di jatuhkan, dan menyimpulkan bahwa Raffi takkan terselamatkan. Hanya keajaiban Tuhanlah sesuatu yang mustahil terjadi akan terjadi. Kun fayakkun.
“Benar, jika jiwa yang lapang menerima tiap ujian akan membuat seseorang menjadi tegar.” Gumam Raffi seketika itu teringat akan ucapan Faris tempo dulu. Raffi pasrah bukan berarti menyerah. Jika ini memang sudah digariskan Tuhan untuknya, ia menerima.
“Tapi, apakah aku sudah memberikan sesuatu yang berarti sebelum kepergianku dari dunia ini?” Begitu lah gemuruh jiwa Raffi. Satu bulan kemudian. Mentari tak lagi bersinar. Cahayanya redup tertutup gumpalan awan-gumawan yang menghitam. Tak lama lagi akan turun hujan. Begitulah orang-orang menerka keadaan alam. Mata itu perlahan telah terpejam, gelap gulita tanpa cahaya. Semua menjadi sunyi, sepi, dan sendiri. Gerakan tiap inci jarum jam tak juga maju, dan tak pula mundur. Ia berhenti pada satu arah. Hari-hari yang panjang itu terputus sampai disini. Ia telah menutup dengan rapi lembaran-lembaran episode hidup ini. Tapi ini bukan akhir dari segalanya , melainkan ini adalah awal kehidupan yang baru bagi setiap insan di dunia.
* * * 

“Sekarang bukalah matamu perlahan-lahan…” pinta Dokter setelah melepaskan perban di mata nya.
Faris merasa takjub. Ia telah melihat dunia. Sesuatu yang mustahil itu telah terjadi.
Ya, akhirnya ia bisa melihat untuk pertama kalinya menatap dunia!
Ia melihat dua orang yang berada di hadapannya dengan senyum kegembiraan menyambut dunia baru bagi Faris.

“Selamat datang, Faris….” Dokter itu tersenyum puas, karena tugas nya telah selesai dengan hasil yang memuaskan.
Di sebelah Dokter itu, ada seorang wanita separuh baya, ikut pula menyambutnya dengan suka cita.

“Ibu…” seru Faris.
Lalu mereka berpelukan. Rasa bahagia secepat itu menyesakkan dadanya. Faris sangat bersyukur atas kemurahan Allah yang telah menganugerahi mata untuknya.

Lalu? Tanya Faris berdengung-dengung dalam hati.
“ Siapa yang telah mendonorkan mata ini untukku?”
“Ibu, siapa orang yang telah berbaik hati mendonorkan mata ini kepadaku? Katakanlah, Bu.. Siapa orang itu?” Tanya Faris tak sabar.
“Cepat beri tahu aku, aku ingin sekali bertemu dengannya, dan memeluk nya dengan rasa ucapan beribu-ribu terima kasihku padanya, Bu…” buru Faris pula.

Lalu ibunya tak bisa berkata-kata lagi. Ia terdiam dengan air mata yang berjatuhan. Ia harus berpegang janji untuk tidak memberitahukan orang yang telah mendonorkan mata untuknya sebelum Faris benar-benar pulih. Tapi, keadaan telah berubah, tak sesuai rencana. Faris selalu saja mendesak ingin tahu pemilik mata yang berhati mulia ini segera.

“Bu,..” ujar Faris lirih . “ Tunjukkan padaku sekarang juga, siapa pemilik mata ini?” Desah Faris .

Setelah cukup lama, dengan sangat terpaksa dan berat hati, ibunya telah mengingkari janji dan memberinya sepucuk surat dari sang pemilik mata. Faris segera meraihnya, dan tak terkejut lagi setelah di dalamnya terdapat banyak tulisan. Karena sebelumnya ia telah mengenal dan menguasai tulisan itu setelah Raffi menghadiahi sebuah Braile di hari ulang tahunnya. Sebuah huruf timbul bagi tunanetra.


Assallamu’allaikum Semoga Allah selalu melindungimu.. 
Rasa syukur senantiasa aku panjatkan kepada Allah yang telah mempertemukanku denganmu, seorang seniman kehidupan yang memberikan banyak inspirasi kepadaku. Kau adalah bagian anugerah yang paling aku syukuri dalam hidup. Bersamamu, merupakan kenangan yang sulit terlupakan. 

Faris, Allah telah mengabulkan keinginanmu. Sekarang kau bisa melihat! 
Berbahagialah, kawan. Inilah dunia yang belum pernah kau lihat sebelumnya. Dan kau akan tahu seperti apa warna jingga! (Bukankah kau ingin sekali melihat warna jingga saat matahari mulai terbenam?) Kau bukan melihatnya hanya untuk satu kali, tapi sepanjang hidupmu, kau akan melihat jingga. Teriakkan jingga sepertiku dahulu.! 

Aku baru menyadari, ketika di sampingmu aku merasa diriku ini menjadi berarti. Bersamamu pula aku telah menghabiskan waktu, menatap dan merasakan bersama kehadiran mentari yang akan terbenam dengan warna cantiknya. Kau tau, jingga merupakan warna terindah dalam hidupku semasa bersamamu. 

Sahabatmu, 
Raffi 


Faris mendekap erat lembar kertas itu di dadanya. Sekarang ia sudah tahu siapa pemilik mata itu. Seseorang yang selama ini bersamanya dalam kurun waktu yang lama. Bukan suatu keajaiban lagi jika ia dapat melihat, Tuhan telah meneguhkan dalil-Nya untuk melihat dunia, melalui mata seorang sahabat yang ingin sekali melihatnya menatap jingga.

“Percayalah… suatu hari nanti kau akan melihat jingga..”
Kali pertamanya ia menangis sepanjang sejarah hidupnya. Tangis itu meleleh bahkan ketika pertama kali ia melihat dunia dan jingga.

Jumat, 07 Februari 2014

SENJA JINGGA :)

SENJA kini berganti malam ……
Seperti kata “drive” dalam lagunya “bersama bintang” ..


Senja memang telah berganti malam .. setelah ia memberi senyuman termanisnya untuk semua orang .. :)
Senja yang datang telah berganti dengan taburan berjuta bintang ..
Senyuman manis itu kini telah berganti dengan sejuta tawa keceriaan ..


Saat angkasa mulai mencetak kilau-kilau jingga ,,
Saat senja itu mulai tertata di angkasa ,,
Saat itu pula,
Senja mampu menghadirkan fenomena terindah dalam hidup ini…

SENJA itu …
Memberi banyak warna.. biru, kelam, hitam, putih berkilau, jingga, orange, kuning, merah berbaur menjadi satu tanpa harus menghilangkan identitas mereka masing-masing..


Kebertahanan warna-warna itu membuat keindahan senja menjadi lebih berharga.

SENJA itu ..
Memberi ketenangan,, menangkap siluet lukisan warna yang unik yang hanya bisa dinikmati dalam waktu singkat.

SENJA ...
Mengingatkan kita, bahwa keakraban dengan sang mentari di pagi hari harus segera diakhiri,, 


Mengingatkan kita, bahwa terang akan segera berakhir berganti gelap yang akan menemani,,
Mengantar kita pada peristirahatan yang melegakan di malam hari.

SENJA juga …
Mengingatkan saatnya waktu berinteropeksi itu tiba,,
Sudah berapa banyak kebaikan dan keburukan yang telah kita lakukan pada hari itu..

SENJA …
Membuat kita bersyukur atas nikmat yang telah Dia berikan untuk kita seharian itu,,


Membentuk semangat baru agar lebih kuat untuk menghadapi hari esok,,
Dan memberikan kita banyak pelajaran agar kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik di masa depan .. :)

Sabtu, 01 Februari 2014

sebuah pesan dari SANG HELIUM ...


Bagai helium dalam ribuan saraf
Berpencar dalam ruang kosong
Mengisi aku

Membumbung tinggi melayang
Bebas menari menyapa langit
Menerbangkan aku

Kita, warna-warni yang memberi senyum pada dunia

Pegang erat aku dengan ujung jarimu
Jangan pernah lepas

Aku tidak mau tersesat di angkasa
Melayang tanpa tujuan arah
Sepi sendiri

Bahkan lebih buruk lagi

Aku hilang
Tidak akan pernah kembali padamu lagi
Dan aku takut itu.

BALON CITA-CITA


Sorak-sorak ramai terdengar. Saat itu puluhan anak sedang berusaha keras untuk meniup balon dengan pelan-pelan hingga meletus. Dag dig dug, mungkin akan terdengar suara degupan jantung di dada mereka. Hmm... mereka adalah puluhan anak-anak yatim piatu di Yayasan Sosial Yadayanu, Kabupaten Semarang. 

Saat itu kami dari remaja masjid melakukan kegiatan Santunan Anak Yatim. Dan saya dipasrahi untuk membawakan acara game buat anak-anak. Kemudian terpikir untuk bercerita motivasi, ”Elang”, sebuah kisah anak elang yang hidup dilingkungan anak ayam, dan akhirnya mati layaknya seekor ayam. 

 ”Siapa tau adik-adik disini adalah seperti anak Elang tadi, adik-adik punya bakat luar biasa jadi Elang, Yang hidup di tempat yang tertinggi, dan akan mati di tempat yang tertinggi pula...!” 

”Tapi sayangnya adik-adik berada dilingkungan Ayam..., maka abaikan ”nasehat” ayam itu, yang mengubur impianmu menjadi Elang sejati!.. Abaikan, dan jadilah Elang!” kata-kataku berapi-api. 

”Sekarang Tuliskan semua cita-cita tertinggimu, di balon itu...! Dan tiuplah hingga besar dan besar hinggal meletus! Dengan semangat tuk mengimpikan dan meraih cita-cita Adik-adik sekalian! Ayo Mulai...!” Teriaku.

Luar biasa..., satu persatu balon meletus..., ada yang mantab, ada yang ragu dan takut, bahkan ada yang tidak berani meniup balon hingga pecah, takut suaranya akan mengagetkan dirinya. 

Akhirnya, lima dari puluhan anak peniup balon yang paling cepat meletus, kami berikan hadiah... Terpancar senyuman dan semangat di wajah mereka. Semoga mereka tidak akan merasa minder lagi, walau mereka seorang anak Yatim Piatu yang tinggal di panti asuhan. 

Ya Allah Tuhanku... Kabulkanlah cita-cita mereka.... 

***

Teman ...
Dalam perjuangan meraih cita-cita pastinya halangan dan rintangan akan selalu menghampiri. Dan semua rintangan sangat bergantung dengan mental diri kita. Apakah kita berani? Apakah kita tidak ragu? Atau sebaliknya, kita ragu dan takut?. 

Seperti dalam cerita meniup balon tadi, terkadang kita takut jika balon itu pecah memekikkan telinga, kita takut jika pecahan itu mengenai mata kita, sehingga kita ragu dan takut. Padahal kita sudah melihat bahwa orang lain banyak yang telah berhasil melakukannya. Lalu kenapa kita musti merasa ragu dan takut?

Teman ...
Hilangkanlah keraguan dan ketakutanmu tuk meraih cita-cita kita..., Keberhasilan akan diraih bagi mereka yang berani. 

”Tiuplah hingga besar dan besar balon cita-cita kita hinggal meletus! Dengan semangat tuk mengimpikan dan meraih cita-cita kita! Berusahalah kita menjadi yang pertama meletuskan balon itu !!!"   :)

Selasa, 28 Januari 2014

B . A . L . O . N

Teman …… ,
Ingatkah kalian jika mendengar kata BALON, pikiran kalian akan langsung tertuju pada film “UP” ??




Ya .. sebuah film yang mengisahkan tentang seorang kakek “Carl” yang menerbangkan rumahnya menggunakan sepuluh ribu balon gas helium.
Ia mempunyai impian terbang bersama istrinya “Ellie” ke Paradise Falls. Tapi sayang, sebelum impian Kakek Carl tercapai, Nenek Ellie telah lebih dulu meninggalkannya.
Tapi kakek Carl tetap berusaha mewujudkan impian itu .. benar-benar hebat :)

Teman …
Seperti halnya Kakek Carl ,, aku pun mempunyai impian. Sebuah impian besar .. !!!




 dan BALON itu…
Membuatku belajar tentang kehidupan ini. Membuatku termotivasi untuk meraih impianku .. :)

BALON …
Bagiku adalah sebuah benda lucu yang mampu memberikan keceriaan. Mempunyai banyak warna yang mewarnai kehidupan ini. Memberikan tawa dan senyuman bagi siapa pun ..




BALON memberiku …
seribu mimpi ..
seribu harap ..
seribu doa ..
Dalam seribu balon yang diterbangkan, terdapat seribu mimpi yang menyertai.
 Aku pemilik seribu mimpi itu ,, q mempunyai seribu harapan itu ,, dan aku mengucapkan seribu doa untuk bisa meraihnya ..




IF THERE’S A DREAM .. THERE’S A HOPE 
IF THERE’S A HOPE .. THERE’S A PRAYER 
IF THERE’S A PRAYER .. THERE MUST BE A GOOD 

:) :) :)

Minggu, 19 Januari 2014

INGIN ku ... TEKAD ku ... !!!

AKU  ingin dan bertekad menjadi seperti DANDELION itu ..






















aamiinn ... :)


Sabtu, 18 Januari 2014

sebuah kisah DANDELION


DANDELION, telah mengispirasiku.. Dandelion memberikan semangat dalam hidupku.
Baca kisah ini, teman... !! Kisah yang harus kalian tahu.. bahwa Dandelion memberi banyak arti dalam kehidupan ini.




Janji DANDELION 


Aku tak pernah benar-benar tahu pasti tanggal ulang tahunku.

Mungkin kau bertanya-tanya, bagaimana bisa aku berkata demikian. Tapi sungguh, aku sama sekali tidak mengada-ngada. Aku serius. Karena aku benar-benar tak tahu. Atau tepatnya, tak pernah diberi kesempatan untuk tahu.

Menurut cerita yang kudengar, beberapa belas tahun yang lalu, di suatu malam tanggal 15 Desember -tanggal yang pada akhirnya dinobatkan sebagai tanggal ulang tahunku oleh Bunda-, ketika seorang wanita separuh baya berjalan pulang tergopoh-gopoh sambil menenteng dua keranjang kue buatannya yang tidak habis terjual, dia melihat sebuah peti telur usang teronggok di salah satu sudut rumahnya. Dia merasa heran, siapa yang meletakkan peti itu di depan gubuk tuanya yang reyot. Kemudian belum sempat dia berpikir lebih lama, bersamaan dengan suara halilintar yang memecah keheningan malam itu, tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi yang menggelegar.

Wanita itu melarikan langkahnya, sesegera mungkin melongokkan kepalanya ke dalam peti itu, dan melihat seorang bayi mungil sedang menangis meraung-raung. Tubuhnya hanya terbalut sebuah kain putih tipis. Tangan kecilnya terkepal menggapai-gapai udara. Dengan tumpukan jerami dan rerumputan yang menjadi alas tidurnya, seorang bayi mungil telah ditinggalkan di sana. Di depan sebuah rumah kecil yang dihuni oleh seorang wanita yang hanya hidup berdua bersama suaminya.

Mendengar tangisan yang begitu lirih, tanpa pikir panjang wanita itu segera meletakkan dua keranjang kue sumber penghasilannya begitu saja dan merengkuh makhluk mungil itu dalam pelukannya dengan penuh kasih sayang. Dia membawanya masuk, mengganti kain tipis yang melingkupi tubuh bayi itu dengan selimut yang hangat.

Lalu ketika suaminya pulang ke rumah setelah seharian mengayuh becak tuanya dan mendengar penjelasan istrinya tentang bayi mungil yang tengah didekap erat-erat di dadanya itu, mendadak laki-laki itu menangis. Dia menangis dengan begitu terharu. Mulutnya langsung berkata-kata, menaikkan rasa syukur, karena katanya, dia tahu, Tuhan telah menjawab doanya. Doa manusia biasa yang selalu berharap dapat dikaruniai seorang anak. Sebab hampir lima belas tahun usia pernikahannya, belum pernah ada kehadiran tangis bayi dalam rumahnya yang tua dan sepi.

Berhari-hari pasangan itu berharap cemas. Memasang telinga dan membuka mata lebar-lebar untuk mencari tahu apakah ada berita kehilangan anak yang tersebar di sekitar pemukiman mereka. Tapi tahun demi tahun berlalu. Tak pernah terdengar segelintir beritapun tentang orang tua yang kehilangan bayi mereka.

Bayi mungil itu. Bayi perempuan bertubuh lemah. Yang terbuang tanpa sebab yang jelas. Yang karena takdir, telah dipertemukan dengan pasangan tua yang telah sekian lama mendambakan kehadiran malaikat kecil. Yang pada akhirnya datang diam-diam dan mengisi hari-hari mereka. Menjalin hubungan seperti layaknya orang tua dan anak, yang meski tak diikat oleh pertalian darah, namun menjadi tak terpisahkan oleh Sang Waktu.

Dua belas tahun kami hidup dalam limpahan kebahagiaan. Sekalipun kami bukan hidup dengan gelimangan harta. Meski menu makan malam kami mungkin hanya sepiring nasi hangat tanpa lauk, kami adalah orang-orang yang tak semiskin seperti apa yang kelihatan.

Aku bangga pada Ayah dan Bunda. Yang biarpun hanya memiliki sedikit dari penghasilan mereka mengayuh becak dan menjual kue, mereka dengan rutinnya selalu menyumbangkan hampir separuh dari pendapatan mereka yang tak seberapa itu ke sebuah panti asuhan yang terletak tak jauh dari rumah kami.

Bunda selalu mengajarkan padaku, ketika hatimu tergerak untuk memberi, jangan tunggu sampai kau hidup dalam berkelimpahan. Tapi lakukanlah itu ketika hidupmu masih dalam kekurangan. Karena memberi dari kelebihan itu adalah biasa, sedangkan membagi dari kekuranganlah yang bisa dikatakan sebagai suatu hal yang luar biasa.

Tatkala mendengar untaian perkataan Bunda pada suatu sore di perjalanan pulang kami menjual kue di stasiun itu, aku tak tahan lagi untuk tidak memeluknya. Dan bunda hanya balas mengusap kepalaku dengan lembut seraya berkata lagi,

“Suci…, maafkan Ayah dan Bunda ya…?”

Aku mendongakkan kepalaku dan menatapnya.

“Minta maaf untuk apa, Bunda?”

“Maaf karena kami tidak dapat memberikan kehidupan yang layak buatmu.” Ada kegetiran yang mencuat di suaranya yang serak. “Maaf karena kami cuma bisa memberikanmu makan nasi tanpa lauk setiap harinya. Maaf karena kami tidak mampu menyekolahkanmu. Maaf karena kami tidak sanggup memberikan baju-baju bagus untukmu.”

Kutatap Bunda tanpa berkedip. Merasakan ada genangan yang mulai menyeruak keluar dan membasahi bola mataku.

“Suci nggak akan memaafkan Ayah dan Bunda.” kataku.

Bunda memandang lurus-lurus ke arahku. Rasa pilu membayang di dua jendela jiwanya yang terlihat jelas olehku.

“Karena nggak ada yang perlu dimaafkan.” lanjutku. Jelas melihat Bunda menahan nafasnya. “Ayah dan Bunda adalah dua hadiah terindah yang Tuhan berikan buat Suci. Kalian nggak pernah salah. Karena itulah, nggak ada yang perlu Suci maafkan.”

Lalu di bawah temaram langit malam yang mulai merangkak datang, Bunda menangis. Merangkulku dengan lumuran cinta yang tak bisa dibandingkan dengan luasnya jagad raya.

Itulah hidupku. Indah. Dan nyaris sempurna.

Namun kesempurnaan yang kukira akan senantiasa mewarnai hari-hari kami sampai selamanya itu seakan terenggut oleh waktu tatkala seorang dokter di sebuah puskesmas yang kami kunjungi setelah beberapa hari aku jatuh sakit, mengatakan serangkaian kalimat yang selanjutnya meluluh-lantakkan hati Ayah dan Bunda.

“Leukimia.” vonisnya. “Kanker darah. Ganas. Stadium akhir. Anak anda harus dibawa ke rumah sakit di pusat kota untuk mendapatkan perawatan. Di puskesmas ini segala fasilitasnya terbatas.”

Aku tak terlalu tahu istilah-istilah yang disebutkan dokter tua berkacamata itu. Karena seperti yang kau ketahui, aku tak pernah mengecap pentingnya ilmu pendidikan yang membatasi pengetahuanku. Tapi yang kutahu, pasti ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi padaku. Sesuatu yang mengerikan. Sebab begitu mendengar kata-kata yang keluar dari mulut laki-laki bijaksana itu, wajah Ayah dan Bunda langsung pucat seputih kertas.

Sudah beberapa hari ini aku memang merasa tersiksa. Seperti ada sesuatu yang mencabik tubuhku dari dalam. Membuatku mimisan dan sekujur tubuhku dipenuhi lebam. Tapi mengapa melihat air muka Ayah dan Bunda saat ini membuatku terasa jauh lebih tersiksa?

Aku menggerakkan tubuhku. Memaksa berdiri di antara Ayah dan Bunda yang masih duduk menghadap dokter berjubah putih itu.

“Dokter.” panggilku. “Suci pasti sembuh…. Bilang sama Ayah dan Bunda, Suci cuma sakit biasa dan pasti bisa sembuh. Pasti bisa sembuh, kan?”

Hening.

Tak ada jawaban.

Kemudian untuk alasan yang tak pernah kuketahui, Ayah dan Bunda menangis. Dokter di hadapanku itu pun ikut menundukkan kepalanya, sebelum akhirnya aku melihat dua tetes air ikut jatuh di atas meja prakteknya.

*** 

Terkadang, banyak hal di dunia ini yang terjadi tanpa mampu kita ketahui bagaimana akhir ceritanya. Banyak pula kisah yang tak bisa berakhir dengan akhir yang bahagia seperti kisah dalam dongeng. Sekalipun demikian, dengan lantang kukatakan kepadamu, meskipun dalam hidupku selama dua belas tahun ini mungkin tak kau lihat sebagai sesuatu yang sarat makna, kutegaskan, aku bahagia.

Aku sangat bahagia sekalipun Tuhan tak berkenan membiarkanku bertemu lagi dengan kedua orang tua kandungku. Aku bahagia diasuh oleh dua orang paling mulia yang pernah hadir mengisi hari-hariku. Aku bahagia dengan sepiring mie rebus yang disajikan oleh Bunda dan sebuah kue ulang tahun yang dibentuk sedemikian rupa dari nasi putih hangat oleh Ayah di setiap ulang tahunku yang tak pernah mereka lupakan.

Hanya satu penyesalanku saat ini.Aku menyesal ketika menyadari bahwa aku tak punya cukup waktu lagi untuk sekedar membalas budi dan menemani mereka di hari tua.

“Jadilah seperti bunga Dandelion, Suci….” bisik Bunda di telingaku. Suaranya yang basah menahan tangis membuat tengkukku meremang.

Aku menggumam tak jelas. Setengah mati kucoba menggerakkan tanganku yang terkulai di pangkuanku, tapi tak berhasil. Padahal aku ingin sekali menghapus air mata yang mengalir turun di kedua belah pipi Bunda yang telah dipenuhi dengan lipatan.

“Menjelmalah seperti bunga mungil bertopi putih itu.” Bunda melanjutkan sambil mengarahkan telunjuknya ke arah sekumpulan rerumputan hijau yang terbentang di hadapan kami. Duduk berdua di depan rumah ketika sore menjelang sudah menjadi ritual yang kami lakukan setelah dokter berjubah putih itu memvonisku bahwa aku terjangkit penyakit mengerikan itu. Bunda berhenti dari kegiatannya menjual kue dan melimpahkan semua waktunya hanya untuk menemaniku.

“Yang meskipun bertubuh lemah, terbuang, dan nyaris tak pernah diperhatikan karena bentuknya yang tidak istimewa, dia tidak pernah menyerah. Ketika angin menerbangkannya, dia akan melintasi angkasa dan mungkin akan terjatuh di tanah gersang, di atas jalan berbatu, dihimpit semak berduri, tapi dengan tegar, dia akan mencari setitik celah dan berjuang untuk tetap hidup. Dia tak pernah hidup untuk menyerah….”

Kukerjapkan mataku yang terasa panas. Menangkap siluet bunga-bunga putih mungil yang menyembul di antara rerumputan hijau di hadapan kami dan meresapi kata-kata Bunda yang menyentuh relung hatiku yang paling dalam. “Suci- sayang-…Bunda.” Bibirku bergetar. Sudah hampir dua bulan berlalu dan penyakit itu merenggut seluruh kemampuanku untuk beraktivitas. Bahkan untuk sekedar berucap kata.

Bunda bangkit berdiri. Masuk kembali ke dalam rumah sambil menahan isaknya. Kuawasi gerak-geriknya dari sudut mataku yang seolah menorehkan luka dalam-dalam di hatiku.

Dan aku melihatnya. Mengobrak-abrik isi lemari pakaian usangnya dan mengeluarkan sebuah kotak dari dalamnya.

“Kita ke kota ya, Suci.” katanya. Mendekatiku kembali dengan air matanya yang berlinang-linang. “Bunda bawa semua yang Bunda punya. Semuanya. Kita pergi ke kota ya? Bunda bawa Suci berobat. Biar Suci sembuh. Kalau nggak cukup uangnya, Bunda bakal memohon sama Dokter di sana buat sembuhin suci. Gimana pun caranya. Biar Suci bisa sama-sama Bunda jualan kue lagi. Biar Suci masih bisa tungguin Ayah pulang dan makan malam sama-sama lagi. Biar Suci bisa rayain ulang tahun lagi. Meskipun cuma dengan sepiring mie rebus dan kue ulang tahun dari nasi putih…. Tapi kalau Suci sembuh, Ayah dan Bunda janji. Bunda janji akan buatin mie goreng paling enak buat Suci. Ayah janji akan beliin Suci kue ulang tahun yang besar. Sebesar ini.”

Kulihat Bunda menggerak-gerakkan tangannya dan berkata-kata tanpa sempat mengambil nafas. Membuat dadaku terasa sesak dan bendungan di mataku roboh begitu saja.

“Kado terindah buat Suci- adalah Ayah- dan Bunda….” Segenap tenaga yang tersisa di tubuhku, kukerahkan untuk mengangkat tangan dan menyentuh pipi keriput Bunda. “Bertemu dengan Ayah dan Bunda- adalah harta tak ternilai- buat Suci….”

Aku menelan ludah dengan susah payah.

“Bunda….” Kusentuh punggung tangan Bunda dengan sayang. “Suci mau… jadi bunga- dandelion.” kataku. Terbata-bata. “Yang meskipun diterbangkan angin- dan hidup di tanah yang gersang, Suci nggak akan- berhenti berusaha. Tapi Bunda harus yakin-, setinggi apapun Suci pergi, sejauh- apapun, suatu hari nanti, Suci pasti kembali…. Kembali- ke tempat di mana Suci berasal. Itu- janji Suci. Janji bunga Dandelion….”

“Bunda mau Suci sembuh….” Dia terisak. Membiarkan gumpalan awan kelam merayap pelan di atas kepala kami dan menambah kesan sendu yang tak terungkapkan dengan kata-kata. “Bunda mau Suci ada di sisi Bunda selalu….”

Aku tersenyum. Tak sepatah katapun yang keluar dari bibirku saat itu. Juga masih dalam diamku saat melihat sosok tua itu melangkah limbung dari kejauhan, merapatkan becak tuanya, dan tergesa-gesa menghampiriku yang terduduk di depan pintu rumah bersama Bunda.

“Suci- nggak pernah berhenti berjuang. Sesulit apapun- hidup Suci….” desahku. Menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. “Karena itu, Ayah dan Bunda- juga nggak boleh menyerah….”

Ayah mengecup keningku. Dengan kecupan yang lama dan dalam. Kurasakan ada air mata yang jatuh menyentuh pipiku. Air mata Ayah.

“Pergilah, Nak. Kalau sudah tak tahan, pergilah….” Dia berbisik lembut di telingaku. Menyiramiku dengan ketenangan yang tiada terbatas. “Ayah dan Bunda akan baik-baik saja. Kalau kamu juga baik-baik saja….”

Lalu suara tangisan terdengar bersahut-sahutan. Kurasakan rasa lelah yang begitu dahsyat menyeretku pada sensasi kehangatan tiada tara. Tiba-tiba saja kesakitan yang menggerayangiku selama sekian bulan ini lenyap tanpa sisa.

Kupejamkan mataku rapat-rapat. Berusaha terlelap dalam tidur yang panjang.

*** 

Wanita berambut putih itu melangkah mondar-mandir. Kepanikan tersirat jelas di wajahnya. Peluh-peluh saling berlomba membanjiri tubuhnya. Sesekali dia mengaduh kebingungan dan mengerjapkan matanya dengan gelisah.

“Air hangat. Sebaskom lagi.” perintahnya.

Seorang laki-laki yang sudah berusia enam puluh tahun yang berdiri tak jauh darinya tampak sepuluh kali lebih panik. Terseok-seok dia melangkah dan menuangkan air hangat yang sudah disiapkannya sedari tadi ke dalam sebuah baskom besar. “Sudah kubilang. Dia harus dibawa ke rumah sakit.” Ibu tua itu menggerutu. Tangannya yang penuh darah terlihat sibuk sekali. “Istrimu sudah lima puluh dua tahun. Dia sudah terlalu tua untuk melahirkan secara normal. Tenaganya sudah lemah. Dia bisa kehabisan darah karena pendarahan.”

“Kami tidak punya uang untuk ke rumah sakit.” Laki-laki itu memindahkan baskom berisi air hangat itu ke samping si ibu berambut putih.

“Ayo, mengejan.” perintahnya lagi. Dicelupkannya sebuah handuk hangat ke dalam baskom yang baru disodorkan ke sampingnya.

Aku mengamati wanita lain yang berusia setengah abad itu terbaring dan mengerang kesakitan dalam kebisuanku.

“Dia kesulitan.” Suara si ibu tua itu terdengar lagi. “Kurasa dia benar-benar harus dibawa ke rumah sakit. Persalinannya tidak bisa mengandalkan seorang bidan kacangan sepertiku.”

“Aku bisa….” desah wanita itu. Si ibu berambut putih meliriknya. “Aku pasti bisa…. Sesulit apapun, akan kulahirkan anak ini….”

“Kau bisa kehilangan nyawamu.” Dia memelototi wanita itu dengan garang.

“Kalau kau harus memilih… antara aku dan bayiku, jangan ragu, untuk memilihnya….”

Pasrah, ibu tua itu menggelengkan kepalanya dengan putus asa. Akhirnya dia memerintahkan beberapa kali kepada wanita yang tengah terbaring itu untuk terus mengejan dan mengambil nafas secara berkala.

Kuamati paras ketiga sosok dengan berbagai ekspresi di hadapanku itu dan membiarkan sekelebatan pertanyaan menari-nari di kepalaku.

Ulang tahun. 

Sudah mengertikah kau apa makna dari ulang tahun itu sendiri? Kurasa banyak dari antara kita yang sudah melupakan apa arti sebenarnya dari dua patah kata itu.

Seringkali dalam hidup kita, masing-masing dari kita terlalu sibuk dengan apa yang harus dilakukan untuk merayakan pesta ulang tahun yang semeriah mungkin. Namun jika kau berdiri di tempatku berdiri dan melihat apa yang tengah kulihat detik ini, kau mungkin baru bisa memahami perasaan macam apa yang sedang melumatku saat ini.

Ulang tahun ternyata bukan bicara mengenai kado apa yang akan kau terima, bukan mengenai sepiring mie panjang umur, kue ulang tahun dengan lilinnya, atau nyanyian selamat ulang tahun dari orang-orang yang kau harapkan ada untuk menemanimu.

Bukan….

Ulang tahun ternyata hanya sebuah hari yang istimewa di mana seharusnya kau bersyukur dan berterima kasih dengan segenap hati, bahwa ada malaikat yang begitu mulia yang diutus Tuhan untuk menitiskanmu ke dunia ini. Wanita yang bersedia merenggang nyawanya. Merintih di antara perih dan kesakitan. Yang dengan tulus mengerahkan seluruh tenaga dan semua yang dimilikinya agar kau terlahir dengan sempurna di matanya. Semua yang dimilikinya. Dikerahkannya bagimu. 

Hanya untuk melihatmu bernafas. Demi sekedar mendengar tangisan rewelmu…. 

Aku melayangkan pandanganku. Menatap wanita yang terbaring itu sekali lagi. Dengan rasa haru yang menyusup penuh dalam seluruh rongga di dadaku.

“Sudah lahir.” Ibu berambut putih mengendikkan bahu kanannya dan mengelap bulir keringat yang turun dari dahinya. Tangannya mengangkat sesosok bayi mungil dengan hati-hati. “Perempuan.”

“Tapi tak bernafas.” katanya lagi. Menggantikan kebahagiaan yang sesaat tadi sempat melumuri wajah wanita dan laki-laki tua itu. Dia menepuk-nepuk pantat bayi kecil itu dengan cemas.

Senyum tipis teruntai di bibirku. Merasa sangat lega karena aku tahu sebentar lagi akan segera tiba saatnya. Saat di mana aku akan menggenapi janjiku dulu.

Kuremas buku-buku jariku sambil memejamkan kedua mataku dan jelas merasakan tubuhku dialiri perasaan yang sehangat matahari senja. Tak lama kemudian, sekujur tubuhku terasa tersedot. Laksana ada medan magnet raksasa yang menarikku untuk masuk ke dalam boneka mungil dalam gendongan ibu tua yang baik hati itu. Tubuhku berubah menjadi serpihan yang berkilau dan melayang masuk ke atasnya.

Lalu… bayi itu menangis.

Suaranya basah menggema. Meruntuhkan dinding ketegangan yang mewarnai paras ketiganya.

“Akhirnya….” Ibu tua itu berseru dengan nada ceria. Senang sekali seperti anak kecil mendapat permen. “Bayi perempuan yang cantik. Lahir tanggal 15 Desember. Manis seperti gula. Sudahkah kalian memikirkan nama untuknya?”

“Dandelion….” Suara wanita yang selalu kupuja itu terdengar perlahan di antara isak tangis yang menggaung. “Aku akan menamainya: Dandelion. Sebab dia yang pergi, kini telah kembali lagi ke tempatnya berasal….”

Kemudian kurasakan kesadaranku perlahan-lahan mulai menghilang. Namun masih dapat kurasakan kenyamanan yang menyelimutiku. Terlebih lagi ketika sepasang tangan yang begitu lembut itu menyambutku dalam dekapannya.

“Selamat datang, Dandelion kecilku….” Suara itu mendesah. Suara yang kukenal. Suara Bunda.

Kugelinjangkan tubuhku dengan manja.

Aku tak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu. Samar-samar suara di sekelilingku memudar. Kepingan-kepingan ingatan masa laluku tentang Ayah dan Bunda seakan ditarik keluar dengan paksa dari benakku.

Terima kasih telah melahirkanku, Bunda…. 

Aku mau berkata-kata, tapi tak bisa. Hanya suara tangis yang terus terdengar.

Tangisanku.

*** 

Apa kau mengenal bunga dandelion? Mungkin dia cuma bunga kecil yang tumbuh di pinggir jalan dan tak pernah menarik perhatianmu. Tapi tahukah kau, dia bunga yang tegar? 

Dia. Si topi putih yang lemah. Yang nyaris terlupakan di antara semarak warna-warni bunga lain yang jelita. Namun dia tak kenal kata menyerah. Meskipun diterbangkan angin tak tentu arah, jatuh di tanah yang gersang, di tepi jalan berbatu, dihimpit semak berduri, tapi dengan tegar, dia akan mencari setitik celah dan berjuang untuk tetap hidup. 

Dia tak pernah berhenti berusaha. Tujuan hidupnya hanya satu. Setelah dia terbang melintasi jagad raya, meniti kehidupan yang penuh kesulitan, suatu hari nanti, sejauh apapun dia telah pergi, dia akan kembali. 

Dia akan kembali lagi ke tempat dari mana dia berasal. Dia pasti kembali. Untuk berterima kasih. Itu janjinya .....

*** 

_END_

DANDELION



          Bunga Dandelion ........ 

Ya … Sebuah bunga liar yang bisa tumbuh dimana saja, entah itu di halaman rumah, di padang rumput, dimanapun tergantung kemana arah angin akan membawa benihnya pergi. 
Serpihan-serpihan kecil bunganya yang ringan akan terbawa angin dan menyebar kemanapun angin itu akan membawanya. Dan serpihan benih itu akan tumbuh menjadi bunga baru dan membawa kehidupan yang baru... 




          Dandelion .. 
Banyak orang yang menyebutnya sebagai bunga mungil bertopi putih. Bunga yang terlihat sangat lemah dan rela kemanapun angin akan menerbangkannya. 
Tapi ..
Ia tetap berusaha menjadi tegar, tak akan bersedih, dan tak akan takut jika nantinya angin akan membawanya ke tanah yang gersang, di tepi jalan berbatu, bahkan dihimpit semak berduri, ia akan tetap tegar dan mencari setitik celah dan berjuang untuk tetap hidup. 
Walaupun.. Bentuknya tak seindah bunga mawar, baunya tak seharum bunga melati .. tapi Dandelion dengan tangkainya yang kecil mampu memberikan banyak arti dalam kehidupan ini. 


          Dandelion .. 
Adalah sosok yang kuat, ia memiliki semangat yang hebat dalam mencari kehidupan baru di luar sana. Mampu terbang tinggi, menjelajah luas menentang angin, sampai akhirnya mendarat di tempat baru kemudian tumbuh menjadi jiwa yang baru. 




Tujuan hidupnya hanya satu .. 
Ia … akan terbang tinggi menjelajah angkasa, mengejar dan menggapai cita-cita yang mungkin akan berbatu jalannya. Jatuh di suatu tempat, dan membawa kebahagiaan di tempat itu. 
Dan ia berjanji … Setelah dia terbang melewati alam ini, meniti kehidupan yang penuh kesulitan .. suatu hari nanti, sejauh apapun ia pergi, Dandelion akan kembali, ia akan kembali lagi ketempat dimana ia berasal untuk berterimakasih… :)
 

AKU BELAJAR "KEHIDUPAN" dari "MEREKA" Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by web hosting